Bisnis Anda “Sapi Perah”?

Oleh Iman Supriyono, Konsultan Manajemen pada SNF Consulting

Berbisnis adalah profesi yang paling primitif. Anda tidak percaya? Coba perhatikan mata pencaharian nenek moyang kita sejak jaman pra sejarah. Mereka mendapatkan kebutuhan kesehariannya dengan cara berburu, memetik buah-buahan di hutan, menangkap ikan di laut, dan kemudian bertani. Mereka mendapatkan kebutuhannya tidak dengan memperoleh gaji dari majikan atau atasan. Sebuah fakta sejarah tentang asal usul profesi umat manusia.

Seiring berjalannya waktu, diantara mereka ada yang pinter dan ada pula yang (maaf…) goblok. Yang pinter bisa mendapatkan hasil kerja lebih banyak dari pada yang goblok. Hasil kerja yang lebih banyak ini akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menggaji orang lain agar bekerja untuknya. Nah, pada saat itulah mulai ada yang namanya pekerja. Semakin pinter seseorang untuk mendapatkan penghasilan, semakin banyak pegawai yang mampu dibayarnya dan demikianlah akhirnya muncul perusahaan-perusahaan besar seperti sekarang.

Kini, saksikanlah bahwa ternyata profesi paling primitif ini masih menjadi tumpuan pendapatan berjuta orang. Keluarlah dari rumah Anda dan berjalanlah barang satu atau dua kilometer. Hitunglah berapa jumlah warung nasi, warung sayur, toko kelontong, pedagang bakso, soto, mie goreng, nasi goreng, tahu tek, tahu campur, aneka krupuk,es dawet, rujak manis atau sejenisnya. Renungkan dan saya yakin Anda akan setuju dengan pernyataan bahwa menjadi pengusaha bukanlah sesuatu yang istimewa. Menjadi pengusaha adalah profesi sederhana. Menjadi pengusaha adalah profesi primitif!!! Yang membuat istimewa adalah strateginya!!!

BCG Matrix, dimodifikasi oleh Iman Supriyono: Bisnis Anda sapi perah?

Yaa.., kebanyakan dari para pengusaha itu adalah mereka yang terjebak pada perangkap finansial sedemikian hingga seorang pedagang bakso akan mengakhiri masa kerjanya persis seperti dia mengawalinya. Mereka yang memulai bisnisnya dengan mendorong sebuah gerobak bakso dari kampung ke kampung, sebagian besar akan mengakhirinya (pada saat tenaganya sudah tidak kuat lagi karena dimakan usia) dengan tetap mendorong gerobak bakso dari kampung ke kampung. Fenomena inilah yang sangat sering terjadi pada kebanyakan para pengusaha. Bahkan ada yang lebih tragis. Mereka tidak bisa menjaga kelangsungan hidup bisnis baksonya karena terjadi perubahan lingkungan bisnis. Bila Anda adalah arek Suroboyo asli atau telah belasan tahun tinggal di surabaya, kini akan semakin sulit mendapati para pedagang semanggi suroboyo misalnya. Mereka tidak bisa eksis karena perubahan lingkungan yang tidak bisa diantisipasinya dengan baik. Inilah salah satu konsekuensi dari prototipe pengusaha yang memperlakukan bisnisnya sebagai “sapi perah”.

Sapi Perah

Begitu dilahirkan, seekor pedhet (bayi sapi perah) akan segera dipisahkan dari induknya. Perlunya adalah agar sang induk dapat diperah susunya dan kemudian dijual sebagai pendapatan seorang peternak. Apa artinya? Seekor sapi perah memang benar-benar dimanfaatkan sebagai penghasil susu, sedemikian hingga anaknya pun harus dikesampingkan.

Memposisikan perusahaan sebagai sapi perah (terjemahan atas istilah cash cow dari Boston Consulting Group) berarti mengambil keuntungan secara terus menerus dalam jangka panjang tanpa melakukan investasi untuk mengembangkannya. Bila Anda pernah makan bebek goreng di sebelah selatan tugu pahlawan misalnya, Anda akan tercengang bahwa dalam semalam tidak kurang dari 200 ekor bebek dinikmati oleh para pembeli. Anda bisa membayangkan berapa omsetnya karena paling tidak seekor bebek akan dibagi menjadi empat potong sehingga semalam paling tidak akan ada 800 porsi nasi bebek terjual. Bila harga seporsi nasi bebek berkisar antara Rp 3500,- sampai dengan Rp 6000,-, dalam semalam akan terkumpul omset antara Rp 2,8 sampai dengan Rp 4,8 juta. Berapa keuntungannya? Dengan keuntungannya 25 % saja, dalam semalam paling tidak akan diraup uang sejumlah Rp 700 ribu sampai dengan Rp 1,2 juta rupiah. Sebulan? Kalikan saja dengan tiga puluh.

Pertanyaannya, mengapa sudah belasan tahun pedagang ini juga tidak kemudian menjadi seorang pengusaha besar dengan bisnis yang menggurita? Yaa… inilah yang disebut sebagai bisnis tipe sapi perah. Keuntungan sebuah unit bisnis tidak pernah ditanamkan untuk memperbesarnya, melainkan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak ada hubungan langsung dengan unit bisnis tersebut. Keuntungan yang besar mungkin dilarikan ke kampung dengan membangun rumah, membeli sawah, membeli mobil bagus dan sejenisnya. Pendak kata, tidak ada investasi ulang untuk memperbesar bisnis. Seperti inilah yang terjadi sedemikian hingga seorang pedagang mie goreng, tahu tek, bakso, es dawet, soto ayam, soto madura, sate, angsle, jagung bakar, dan sebagainya yang laris sekalipun akan tetap setia mendorong gerobaknya sampai usia senja, sampai usia pensiun tanpa perkembangan yang berarti.

Speedometer Rusak: Tidak Sadar Pelihara Sapi Perah•

Anda saya ajak berbicara tentang para pedagang kecil adalah dalam rangka menyederhanakan permasalahan. Sebuah bisnis bakso gerobak tipe sapi perah terlihat dari kemanakah aliran uang yang merupakan selisih antara seluruh biaya (untuk kulakan bahan baku dan kebutuhan keseharian pedagangnya) dengan pendapatan. Bila uang ini kemudian dibawa pulang kampung dan dibelikan rumah, motor, mobil atau tanah berarti bisnis ini bertipe sapi perah. Bila keuntungannya untuk membeli gerobak bakso kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya dan kemudian pemiliknya menjadi “juragan bakso gerobak” berarti dengan mudah Anda bisa mengatakan bahwa bisnis ini bukanlah sapi perah. Cukup mudah dan sederhana untuk melihatnya. Tidak diperlukan alat bantu yang disebut sebagai pembukuan atau akuntansi.

Lain halnya bila kita membicarakan sebuah perusahaan percetakan yang mempekerjakan puluhan orang dengan operasi yang tidak lagi bisa dikatakan sederhana dan volume transaksi yang besar, misalnya. Anda tidak akan dapat melihat dengan jelas apakah percetakan ini tipe bisnis sapi perah atau bukan tanpa alat bantu yang disebut sebagai akuntansi dengan sarana yang disebut sebagai laporan keuangan (laba rugi, neraca, perubahan modal, arus kas dan sebagainya). Bahkan, tanpa bantuan akuntansi dengan sistem yang disebut double entry, seorang pengusaha akan tidak dapat mengetahui berapa keuntungan operasi perusahaannya dalam sebulan, atau setahun misalnya. Kalaupun bisa diperoleh nilai rupiah, angka ini akan sangat rawan kekeliruan dan bisa menjebak.

Mengapa? Laporan keuangan (laba rugi, neraca, arus kas, dan laporan perubahan modal) adalah ibarat panel kontrol sebuah pesawat terbang seperti Boeing 737 yang sering Anda tumpangi untuk pergi dan pulang ke Jakarta misalnya. Laporan keuangan juga bisa dianalogkan sebagai sebuah panel kontrol di dash board mobil Anda. Bayangkan Anda baru saja membeli sebuah mobil Mersi seri S dengan harga ratusan juta tetapi seluruh panel kontrolnya tidak berfungsi. Anda tidak bisa melihat berapa suhu air radiator, tidak tahu bensinya habis atau tidak, tidak tahu minyak pelumasnya masih cukup atau kurang, tidak tahu minyak pelumasnya sudah waktunya ganti atau belum. Bahkan Anda juga tidak tahu apakah pintu mobil telah ditutup dengan sempurna. Bila Anda nekat mengemudikan kendaraan dengan kondisi seperti ini, sebulan dua bulan, mobil akan rusak berat dan bisa dikatakan bobrok. Bagaimana tidak rusak bila Anda paksa saja mobil untuk melaju di Jalan Tol padahal suhu air radiatornya sudah melebihi batas toleransi, tentu saja sekernya akan segera aus dan knalpotnya mengepulkan asap tebal pertanda mesin sudah saatnya dibawa ke bengkel untuk perawatan yang sangat serius.

Atau mungkin Anda sudah merasa melakukan pencatatan rapi terhadap usaha Anda. Cukupkah? Belum tentu. Pencatatan Anda baru bisa dikatakan cukup bila paling tidak Anda telah menerapkan apa yang dalam bahasa akuntansi disebut sebagai “double entry book keeping”. Pencatatan lebih menjamin bahwa setiap transaksi sudah dicatat secara seimbang. Dengan model pencatatan inilah akan dengan lebih mudah diketahui apakah penyusutan nilai asset (misalnya mesin) sudah dikompensasikan pada laba perusahaan.

Catatan akuntansi yang tidak akurat adalah ibarat petunjuk suhu radiator yang tidak akurat. Anda bisa melihat di dashboard bahwa suhu radiator tinggi sehingga Anda menghentikan kendaraan padahal suhu sesungguhnya masih rendah. Atau Anda tidak segera menghentikan mesin karena penunjuk suhunya masih terlihat rendah padalah sebenarnya suhu air radiator sudah mampu menggerus silinder mobil Anda! Keduanya bisa terjadi pada sebuah jarum penunjuk suhu radiator yang tidak akurat, yang rusak. Nah, jangan sampai Anda terjebak dengan pencatatan bisnis yang tidak akurat seperti jarum penunjuk suhu radiator seperti ini. Agar Anda tidak merasa telah melakukan strategi bisnis yang hebat padahal sebenarnya sedang “memerah” susu dari “sapi perah” bisnis Anda. Solusinya? Mari belajar akuntansi, keuangan dan strategi yang terkait dengannya. Mari belajar membaca “speedometer” finansial perusahaan Anda!!

Jadilah Bintang

Bagi sebuah perusahaan cash cow, laba sering kali dilarikan kepada bisnis yang berbeda dengan bisnis dimana laba itu berasal. Misal, PT A berbisnis warung ayam. Dari hasil operasi yang kuat di pasar, labanya dikeluarkan dari sektor warung ayam dan digunakan untuk membangun bisnis peternakan ayam. Pengembangan warung ayamnya pun terhenti karena labanya digunakan untuk membangun bisnis peternakan ayam hingga beroperasi normal dan mendapatkan laba. Begitu laba besar, dari warung ayam dan peternakan ayam digunakan untuk membangun bisnis pakan ayam…dan seterusnya dan seterusnya. Jadilah PT A sebagai perusahaan atau grup perusahaan konglomerasi. Apapun dikerjakan. Risikonya, saat ada perusahaan warung ayam lain yang fokus menggunakan labanya untuk membangun outlet baru warung ayam, warung ayam PT A akan terjepit, kalah dalam awarenes, kalah dalam mind share…dan akhirnya terlempar dari peta bisnis warung ayam.

Untuk sebuah perusahaan yang dari operasionalnya sudah mendapatkan uang besar, seperti pada sisi kanan gambar BCG matrix di atas, sebenarnya ada sebuah kesempatan luar biasa untuk tumbuh dan berkembang pada bisnis intinya. Untuk makin mendominasi pasar secara lebih luas. Untuk menjadi kelas nasional bahkan kelas dunia. Laba operasi yang besar bukan dilarikan ke tempat lain diluar perusahaan. Laba yang besar justru ditanamkan kembali pada perusahaan. Bahkan ditambah lagi dengan dana dari luar berupa pinjaman. Itulah karakter bisnis yang “Star”. Karakter bisnis cap bintang.

Contoh dalam bisnis saat ini adalah Alfamart. Bagaimana prakteknya? Dalam laporan keuangan tahun 2014 misalnya, perusahaan yang tiap hari rata-rata menambah 3 gerai baru ini mendapatkan laba sebesar sekitar setengah trilyun. Untuk apa laba sebesar itu? Perhatikan investinya. Pada tahun yang sama perusahaan berinvestas melalui penambahan gerai baru sebesar sekitar Rp 2 Trilyun. Jadi, investasinya sebesar 4x labanya. Tentu ada peran dana dari luar. Dana pinjaman. Itulah perusahaan bintang. Perusahaan yang denyut pertumbuhannya sangat dirasakan nyata. Mari menjadi bintang…..


Disampaikan pada Seminar “Memulai dan Menyempurnakan Pembukuan Perusahaan dalam Kerangka Strategi Bisnis” di  Graha Pena – Jawa Pos,  Surabaya, Sabtu, 9 Agustus 2003, dimodifikasi pada akhir Agustus 2015

Iman Supriyono adalah direktur, konsultan dan penulis buku-buku manajemen pada SNF Consulting. email: imansupri@snfconsulting.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *