Bisnis Minimarket, Lembaga Dakwah yang sekelas Ramayana

Oleh Iman Supriyono, Konsultan pada SNF Consulting

Awal Nopember ini, saya terlibat dalam tiga aktivitas seirama. Pertama, bergabung dalam tim sebuah jaringan minimarket lokal terbesar di Ponorogo yang sedang roadshow ke Pacitan. Roadshow ini adalah dalam rangka pendirian outlet minimarket milik sebuah ormas keagamaan terbesar dengan skema waralaba. Kedua, saya menerima pertanyaan dalam rubrik konsultasi keuangan yang saya asuh di sebuah majalah tentang pengelolaan bisnis dari sebuah yayasan sosial. Ketiga, saya diminta memberikan masukan tentang penataan ekonomi dari sebuah lembaga dakwah (dalam bahasa “gaul” para aktivis dakwah disebut harokah) dalam tim persiapan rapat kerja nasional tahunan. Ketiga “keterlibatan” itu menginspirasi saya untuk mengangkatnya menjadi topik tulisan yang sedang Anda baca kali ini.

Para pembaca yang dermawan, pada dasarnya sebuah organisasi dakwah berupa yayasan, ormas, harokah, ta’mir masjid atau apapun adalah pelaku ekonomi. Organisasi dakwah memiliki asset asset ekonomi (harta kekayaan) dan kewajiban-kewajiban ekonomi (utang) layaknya seorang manusia. Organisasi dakwah memiliki pemasukan dan pengeluaran kas sebagai pergerakan harian dari asset-assetnya.

Penyebutan pelaku ekonomi ini akan menjadi makin jelas bila dikontraskan dengan peran pemerintah sebagai regulator ekonomi. Pelaku ekonomi dan regulator ekonomi memiliki peran yang sangat berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah bahwa regulator ekonomi memiliki kekuasaan untuk melakukan realokasi (pemindahan) asset-asset ekonomi baik dengan kerelaan para pelaku ekonomi maupun keterpaksaan. Contohnya, pemerintah berhak menghukum pelaku penggelapan pajak. Peemerintah bahkan bisa menghukum mati (di RRC misalnya) kepada orang yang melanggar regulasi ekonomi dengan melakukan korupsi.

Regulator ekonomi memiliki kekuasaan untuk melakukan realokasi asset ekonomi baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Hukuman bagi penggelapan pajak atau koruptor adalah contoh kekuasaan secara terang-terangan. Contoh kekuasaan yang tersembunyi adalah berupa hak mencetak uang. Mencetak uang menimbulkan efek inflasi yang pada dasarnya adalah mengambil uang (secara nilai) dari warga negara untuk kepentingan pembiayaan program atau proyek pemerintah tertentu. Uang Anda Rp 5000 yang pada tahun 1997 bisa dibelikan 5 kg beras kini telah “diambil paksa” oleh pemerintah hingga hanya bisa dibelikan 1 kg beras. Inilah kekuasaan pemerintah yang sangat powerfull dalam bidang ekonomi.

Nah, organisasi dakwah dan sosial apapun tidak memiliki kekuasaan untuk bertindak seperti yang dimiliki oleh pemerintah. Secara riil lembaga dakwah adalah pelaku ekonomi, bukan regulator ekonomi. Dengan demikian, mengelola keuangan lembaga dakwah harus dengan paradigma pelaku ekonomi, bukan paradigma regulator.

Minimarket di Ponorogo yang saya ceritakan di atas maju karena ormas yang memilikinya memposisikan diri sebagai pelaku ekonomi. Dalam kasus ini, ormas ini memposisikan diri sepenuhnya sebagai pemegang saham. Ormas menunjuk direktur yang bekerja secara profesional. Direktur inilah yang bekerja habis-habisan dengan segala jatuh bangunnya untuk mengembangkan minimarket dengan kinerja yang kinclong.

Kinclongnya tidak kalah dengan Ramayana department store misalnya. Perputaran stok Ramayana, sebagaimana dalam laporan keuangannya, dalam setahun lebih dari 12 kali. Demikian pula minimarket yang merajai pasar Ponorogo ini.

Anda para pembaca yang dermawan tentunya banyak bersentuhan dengan aktivitas lembaga dakwah dan sosial lainnya. Majukah ekonomi organisasi Anda? Berapa assetnya tahun lalu? Berapa assetnya tahun ini? Tumbuh berapa persen? Nampaknya ini perlu dibahas lagi pada tulisan yang akan datang.

 

Iman Supriyono ( imansupri@snfconsulting.com )

Managing partner SNF Consulting

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *