Jakarta Coret

Oleh Iman Supriyono, Konsultan Manajemen pada SNF Consulting

“Kau tinggal dimana?”, sebuah pertanyaan standard yang saya tujukan pada seorang kawan lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa. Pertemuan terakhir dengan kawan ini terjadi beberapa tahun sebelumnya saat ia belum menikah. Kini ia dua jagoan kecil sudah menghiasi kehidupan rumah tangganya.

“Di Jakarta”. Jawabnya singkat. Jawabannya belum final untuk sebuah kota yang luasnya lebih dari lima kalinya Kuala Lumpur ini. Bahkan ada seorang kawan yang menggambarkan betapa besarnya Jakarta dengan menyebut bahwa Surabaya adalah kota terbesar ke-6 di Indonesia. Kota terbesar pertama adalah Jakarta Pusat, disusul oleh Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan untuk urutan ke 2-5. Yang nomor enam barulah barulah Surabaya. “Jakarta mana?”, pertanyaan lanjutan saya. “Jakarta coret!!” “Mana? Jakarta Coret? Sebelah manakah itu?”

Mendapat pertanyaan ini, kawan tadi kemudian menjelaskan dengan analog Kota Caruban. Kota kelahiran saya dan kawan tadi. Katanya, kalau kita berkendara dari Surabaya menuju Caruban, akan ada rambu lalu lintas berwarna biru atau hijau bertuliskan kata “Caruban” warna putih. Setelah itu, begitu perjalanan kita lanjutkan, kita akan masuk kota Caruban. Bila perjalanan dilanjutkan lagi, maka kita akan membaca rambu bertuliskan kata “Caruban” tetapi dicoret miring. Tanda bahwa kota Caruban telah kita tinggalkan. Tanda bahwa kita telah meninggalkan kota Caruban.

“Demikian pulalah tempat tinggal saya. Jakarta. Tetapi bukan di dalam kota Jakarta, melainkan “Jakarta Coret”, luar kota Jakarta.

Saya membesarkan hatinya. Saya sampaikan bahwa kalau di Kuala Lumpur, “Kuala Lumpur Coret” bisa berarti Putra Jaya, kawasan luar kota Kuala Lumpur yang merupakan pusat pemerintahan baru yang jauh lebih nyaman dan indah dari pada Kuala Lumpur-nya sendiri. 

Ada seorang sahabat yang sudah hampir dua tahun ini merintis bisnis produk konsumsi. Untuk operasional bisnisnya, ia menjadikan pusat kota Surabaya sebagai “markas besar”-nya. Kegiatan marketing, administrasi, layanan pelanggan, dan manajerial secara umum ditempatkan di kantornya yang berada di kawasan jantung Kota Pahlawan ini. Hanya aktivitas produksi saja yang karena alasan teknis harus dilakukan di luar kota. Itupun ia bekerja sama secara outsourcing dengan pihak lain. Praktis jantung bisnisnya ada di tengah kota.

Dalam kerangka pekerjaan saya di SNF Consulting, suatu saat saya diundang untuk hadir di rapat team manajemennya. Pokok bahasannya adalah bagaimana mengelola keuangannya dengan baik untuk mencapai pertumbuhan perusahaan yang memadai. Diungkaplah angka-angka finansial tentang kondisi perusahaan yang produknya sudah mulai dikenal di segmen muslim ini.

Setelah saya gali lebih dalam tentang angka-angka yang disampaikannya, sebagai sebuah rintisan, secara cashflow perusahaan ini sudah berada pada koondisi yang bisa impas. Artinya, aliran kas masuk rutin bulanan sudah bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan aliran kas bulanan. Ini adalah kondisi awal yang semestinya bisa dijadikan pijakan untuk manuver bisnis berikutnya. Tentu saja agar perusahaan bisa melaju lebih kencang.

Kenapa “semestinya bisa” dan bukan “bisa”? dijadikan pijakan untuk manuver bisnis berikutnya? Pembaca yang dermawan, ada satu hal yang kurang dalam bisnis sahabat ini. Bersama istri dan anaknya, Sahabat ini tinggal di “Surabaya Coret”. Krian tepatnya. Pagi-pagi harus berangkat ke markas bisnis dan malam hari baru bisa beristirahat di rumahnya setelah menempuh perjalanan panjang dari Surabaya ke “Surabaya Coret”

Inilah salah satu sumber inefisiensi. Semestinya, ia bisa menyewa sebuah rumah yang cukup besar di Surabaya, bukan “Surabaya Coret”, yang bisa dimanfaatkan untuk tempat usaha sekaligus tempat tinggal. Cara ini bisa menghemat waktu perjalanan tiap hari yang pergi pulang tidak kurang dari dua jam. Waktu tersisa ini selanjutnya bisa digunakan untuk lebih fokus dalam memikirkan usahanya dan akhirnya bisa menggenjot bisnisnya. Dengan laba yang lebih besar, ia bisa lebih cepat membeli rumah di Surabaya, bukan “Surabaya Coret”

Para pembaca yang budiman, banyak orang tidak berhitung cermat dan akhirnya membeli rumah jauh di luar kota. Waktu kesehariannya selama bertahun-tahun habis di dalam perjalanan bermacet ria pergi pulang kantor. Capek, menghabiskan uang, menghabiskan waktu, dan yang lebih merugikan, mengganggu fokus dalam berkarir, baik sebagai karyawan maupun sebagai pengusaha.

Secara perhitungan cermat, mestinya akan lebih tepat menyewa saja rumah di dalam kota dan kemudian bekerja keras, serius, fokus dan all out. Inilah yang kemudian akan membuahkan hasil berupa prestasi kerja yang lebih tinggi yang biasanya juga akan diikuti dengan prestasi finansial yang lebih tinggi. Akhirnya, ia bisa membeli rumah di dalam kota, bahkan kemudian bisa berinvestasi dengan kecepatan yang lebih tinggi. Anda yang kini bekerja di Surabaya tinggal dimana? Surabaya atau “Surabaya Coret”?

Iman Supriyono ( imansupri@snfconsulting.com )

Managing partner SNF Consulting

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *