Jemuran Yang Berkibar di Rusun Singapura

Oleh Iman Supriyono, Konsultan Manajemen pada SNF Consulting

Singapuran adalah negeri rusun. Yaaa….rusun sebagaimana yang bisa kita saksikan misalnya di kawasan Pandugo, Gayungan, atau Urip Sumoharjo di Surabaya. Nyaris seluruh hunian di negeri yang merdeka dua puluh tahun setelah Indonesia itu adalah berupa apa yang disebut apartemen atau sebenarnya seperti apa yang kalau di Surabaya disebut sebagai rumah susun itu. Nyaris seluruh perkampungan asli yang dulu juga kurang lebih seperti perkampungan di Surabaya sudah dibongkar diganti dengan rumah rumah susun mulai dari yang sederhana sampai dengan yang mewah. Hanya sedikit perkampungan lama yang disisakan yang berfungsi sebagai semacam “cagar budaya” agar bisa dilihat oleh anak cucu.

Ada yang menarik tentang rumah susun ini sebagaimana yang diceritakan oleh Pak Sholeh, penduduk asli Singapura yang tinggal di kawasan pemukiman Hougang. Pada tahun 60-an, ketika konsep hunian vertikal ini mulai diperkenalkan di Singapura, kita akan dengan mudah menyaksikan kibaran baju, sarung, selimut, celana, handuk, dan aneka pakaian dalam pria wanita dijemur di “sekujur” tubuh rumah susun. Dari manapun kita memandang- utara, selatan, timur, dan barat- kibaran jemuran akan menyapa. Suasananya persis seperti rusun yang kini bisa Anda saksikan di Surabaya atau Jakarta.

Kini, Anda jangan berharap bisa menyaksikan suasana rusun yang dipenuhi oleh kibaran jemuran itu di Negeri berpenduduk sekitar 4 juta orang ini. Sehari-hari, seantero rusun tampak steril dari kibaran jemuran pakaian. Pertanyaannya, apakah kini mereka tidak perlu menjemur mencuci dan menjemur baju bajunya? Tentu saja tidak begitu. Tentu saja mereka juga butuh mencuci dan menjemur baju sebagaimana manusia pada umumnya. Lalu dimana mereka menjemur cuciannya sehari hari? Nah, mereka telah meninggalkan kebiasaan buruk tahun 60-an yang hingga kini masih dipraktekkan di surabaya atau Jakarta: memamerkan jemuran. Mereka menjemur pakaian secara “tersembunyi”. Mereka sengaja menyediakan fasilitas jemuran tersembunyi yang tidak tampak dari luar.

Lalu, bagaimana mereka mengubah kebiasaan “pamer jemuran” yang sama sekali tidak indah dipandang mata menjadi kebiasaan yang baik dan indah? Ternyata, sebagaimana yang diceritakan oleh Pak Sholeh, pemerintah sangat berperan. Tidak henti hentinya, pemerintah menasihati masyarakat agar membuang kebiasaan buruk pamer jemuran. Petugas pemerintah selalu mendatangi dan mengingatkan manakala ada orang yang masih “pamer jemuran”. Tidak tanggung tanggung: sejak tahun 60-an dan baru bisa nikmati sekarang.

Hasilnya indah. Sebuah masyarakat yang hampir 100% tinggal di rumah susun atau yang dalam bahasa lebih keren disebut sebagai apartemen. Rumah susun mulai dari yang kelas sederhana berada di pinggiran kota hingga yang mewah dengan harga belasan millyar rupiah berlokasi di pusat kota seperti di kawasan sekitar Orchard Road misalnya semuanya kompak: steril dari pameran jemuran.

Pembaca yang budiman, itulah proses perbaikan. Proses yang diawali dengan gambaran masa depan atau yang disebut visi. Pemerintah Singapura pada tahun 60-an sudah memiliki gambaran jelas tentang bagaimana kondisi hunian yang akan mereka ciptakan pada yang akan datang. Mereka mencita-citakan sebuah sistem hunian vertikal puluhan lantai sedemikian hingga akan banyak lahan yang bisa dibiarkan kosong dan memberi kesan lapang plus nyaman. Visi itulah yang kini telah terealisasi. Singapura adalah negeri kota yang masih bisa menyisakan sekitar 50% lahannya berupa tanah kosong yang ditumbuhi aneka pepohonan asri.

Tentu saja tidak mudah mencapai visi. Diperlukan proses perubahan yang panjang dan istiqomah. Inilah yang diperagakan oleh petugas pemerintah yang dengan rajin menasihati dan mengingatkan masyarakat agar meninggalkan budaya pamer jemuran yang sebenarnya bisa disebut jorok itu.

Pembaca yang budiman, pada saat ini kehidupan konsumtif masih melanda masyarakat. Saya tidak tahu, apakah Anda termasuk orang yang berbudaya konsumtif apa bukan. Anda disebut konsumtif apabila anggaran bulanan Anda masih didominasi oleh belanja konsumtif. Anggaran bulanan didominasi oleh belanja konsumsi: rekening telepon-air-listrik, uang sekolah anak anak, cicilan motor atau mobil, cicilan rumah, dan sejenisnya.

Atau tengoklah iklan TV kita. Bisa dikatakan masih didominasi oleh produk produk yang berkarakter konsumtif. Coba bandingkan dengan iklan yang muncul di TV lain. Iklan yang muncul di Channel News Asia-nya Singapura, CNN, CNBC, HBO, BBC misalnya sangat jauh dari karakter konsumtif. Iklannya lebih didominasi oleh materi yang berkarakter corporate image.

Ini tidak baik dan tentu saja harus diubah. Budaya konsumtif tidak mungkin dipertahankan kalau kita ingin ekonomi negeri ini membaik. Ekonomi hanya mungkin diperbaiki dengan investasi. Ekonomi hanya mungkin didorong maju dengan gerojogan investasi. Dibutuhkan belanja modal (capital expenditure) yang besar.

Budaya investatif harus ditumbuhkan. Inilah PR mendesak kita. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Sama tidak mudahnya dengan pekerjaan mengubah budaya pamer jemuran di Singapura yang membutuhkan waktu sekitar 30 tahun.

Ukurannya sederhana. Dari belanja bulanan kita, berapa persen yang dibelikan asset asset produktif? Berapa persen yang dibelikan sesuatu yang segera mendatangkan hasil? Dibelikan sapi atau kambing yang segera beranak, dibelikan mesin jahit supaya segera menghasilkan baju, mobil yang segera bisa disewakan, lahan pertanian yang segera menghasilkan padi, kebun yang segera menghasilkan buah buahan, kapal supaya segera menghasilkan ikan tangkapan, dan sebagainya.

Idealnya, paling tidak kita bisa mengalokasikan minimum 10% dari pendapatan kita untuk investasi. Ada orang yang sudah bisa atau segera bisa melakukan alokasi ini dengan mudah. Namun demikian, untuk sampai menjadi gerakan masyarakat secara keseluruhan tentu saja tidak mudah. Ini hanya bisa dilakukan dengan model perubahan budaya pamer jemuran seperti di Singapura. Dibutuhkan orang atau pihak yang terus menerus mengawal proses menuju visi ini. Anda siap?

Iman Supriyono ( imansupri@snfconsulting.com )

Managing partner SNF Consulting

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *