Bentoel Delisting Saat Marak IPO, Mengapa?

snfconsulting.com – RUPS luar biasa Bentoel Internasional Investama Tbk. tanggal 28 September 2021 menyetujui rencana delisting dari Bursa Efek Indonesia. Banyak yang bertanya. Mengapa kebijakan delisting ini diambil di tengah maraknya perusahaan-perusahaan lain melakukan IPO? Tidak salahkah aksi korporasi ini? Mari kita cermati.

Penerbitan saham secara terus menerus baik di luar lantai bursa maupun melalui lantai bursa adalah proses yang harus dilalui sebuah perusahaan untuk menapaki delapan step corporate life cycle (CLC) menjadi sebuah fully corporatized company. IPO adalah langkah awal penerbitan saham di lantai bursa. Setelah itu mesti dikuti right issue terus menerus membangun model gergaji korporatisasi

Bentoel yang beraset Rp 10,7 triliun itu sudah melakukan IPO tahun tahun 1990. Tapi memperhatikan laporan keuangannya, sebelum diakuisisi oleh BAT Bentoel tidak melakukan proses korporatisasi secara terus menerus. Sesuatu yang umum terjadi pada perusahaan di Indonesia menjadikan IPO sebagai tujuan akhir. Padahal mestinya IPO adalah awal dari proses korporatisasi lantai bursa.

Tahun 2009, perusahaan yang berdiri tahun 1930 ini diakuisisi oleh British American Tobbaco (BAT). Dengan akuisisi tersebut BAT menjadi pemegang saham 92,48%. Dengan demikian, status Bentoel adalah anak perusahaan (subsidiary) bagai BAT. Atau, BAT adalah induk perusahaan (parent) bagi Bentoel

Subsidiary adalah bagian tak terpisahkan dari parent. Direksi pada subsidiary pada dasarnya adalah manajer dari parent. Pindah, promosi atau pemberhentian manajer cukup dengan tanda tangan CEO induk. Tapi hal ini tidak bisa bisa dilakukan ketika si subsidiary adalah perusahaan listed. Ada mekanisme lantai bursa yang tidak sederhana harus diikuti sehingga si manajer tidak dengan mudah bisa dipindah sesuai dengan strategi perusahaan.

Dengan demikian membiarkan subsidiary tetap listed adalah menghambat proses manajemen internal si parent. Oleh karena itu, sudah tepat apabila Bentoel melakukan delisted. Bahkan tidak masalah ketika parent harus melakukannya dengan harga mahal. Membeli saham yang dipegang publik melalui tender offer dengan harga jauh di atas harga pasar. BAT melakukan ini dengan harga sekitar 2x harga pasar.

Lalu jika Bentoel membutuhkan dana ekspansi, dari mana sumbernya? Tentu dari sang Induk. Saat ini misalnya, market value BAT adalah USD 58,61 miliar alias Rp 836 triliun. Menerbitkan saham 10% saja sudah menghasilkan dana sekitar Rp 84 triliun. Tidak perlu susah payaah menerbitkan saham kecil-kecil melalui subsidiry yang tersebar di berbagai negara termasuk Bentoel. Market value Bentoel misalnya hanya Rp 11 triliun. Terlalu kecil BAT untuk menjadi sarana mencari uang melalui rights issue Bentoel.

Tidak hanya Bentoel. Aqua begitu diakuisisi oleh Danone juga melakukan hal serupa. Sarihusada juga delisted setelah diakuisisi oleh Nutricia. Bahkan tidak hanya di Indonesia. Mounth Elizabeth Hospital Singapura juga cabut dari lantai bursa Singapura begitu diakuisisi oleh IHH, sebuah perusahaan rumah sakit multinasional berpusat di Kuala Lumpur.

Delisting adalah keniscayaan bagi sebuah subsidiary company

Mungkin Anda bertanya, bagaimana ketika BUMN banyak melakukan IPO anak perusahaannya? Itu adalah kesalahan stratejik. Tapi karena mindset korporatisasi di negeri ini sangat lemah, aksi korporasi itu dianggap benar. Jika kesalahan ini tidak diperbaiki, jangan heran jika pasar negeri ini akan makin dikuasai asing. Salah satunya melalui akuisisi seperti yang dilakukan oleh BAT itu. Banyak diantara kita bangga menyebutnya investasi asing. Bahkan pemerintah ini selalu punya menteri atau pejabat setingkat menteri untuk mendorong investasi seperti ini. Mestinya sebaliknya, kita harus punya menteri yang mengurusi ekspansi perusahaan-perusahaan lokal di luar negeri dengan mengikut CLC. Menjadi bangsa investor. Bagaimana pendapat Anda?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print