Oleh Iman Supriyono, konsultan pada SNF Consulting,https://www.snfconsulting.com
Tulisan ini saya buat di kamar hotel Graha Prima Pacitan menjelang subuh. Semula saya berencana untuk melakukannya kemarin petang sebelum tidur. Tetapi ternyata saya tidak mampu melakukannya. Badan sudah sangat letih setiba perjalanan panjang 8 jam dari Surabaya. Begitu masuk di kamar saya merebahkan badan di ranjang. Maksud hati ingin sekedar melepas lelah sejenak. Baju kantor berlogo SNF Consulting yagn saya kenakan dari surabaya sejak pagi pun masih melekat di badan. Malah ternyata tertidur hingga jam setengah tiga pagi. Ya sudah, begitu bangun, mandi dan sholat secukupnya saya segera menyalakan laptop dan sepuluh jemari pun menari nari dalam kesegaran badan dan pikiran menjelang subuh.
Sebegitu jauhkah Surabaya ke Pacitan sehingga perjalanannya begitu panjang dan melelahkan? Sebenarnya tidak jauh-jauh amat. Perkiraan saya hanya sekitar 250 kilometer. Andai saja mobil bisa dipacu dengan kecepatan rata rata 100 kilometer per jam mestinya saya hanya perlu duduk di bangku mobil selama 2,5 jam. Atau menjadi 3 jam total kalau ditambah dengan istirahat sholat dan makan di jalan. Mengapa kok 8 jam amat? Itulah indonesia. Jalan jalan di negeri ini memang jauh sekali dari ideal. Beda sekali misalnya dengna perjalanan darat Singapura Kuala Lumpur sejauh sekitar 400 kilometer yang cukup ditempuh dengan bus umum selama sekitar 4 jam melalu jalan tol mulus dan lebar.
Terus gimana solusinya? Ya mestinya dibangun jalan tol. Tapi kalau melihat kinerja negeri ini dalam mengelola fasilitas publik, kayaknya kita masih harus menunggu lama untuk mencapainya. Bahkan jalan tol yang sudah kita miliki pun jauh dari kualitas ideal. Disana sini jalan bergelombang atau berlobang. Lalu lintasnya pun terlalu padat. Berat untuk mencapai keceatan rata rata 100 kilometer perjam.
Dalam kondisi seperti ini saya jadi teringat suatu saat saya menempuh perjalanan dari Denpasar ke Mataram. Kedua kota ini juga jaraknya kurang lebih sama dengan Surabaya Pacitan. Saat itu saya duduk di kabin pesawat Foker 50 berpenggerak dua baling baling masing masing di sayap kiri dan kanan pesawat. Berbeda dengan pesawat jet, pesawat baling baling tidak terbang terlalu tinggi. Saat terbang jelajah (terbang dengan ketinggian tetap, tidak menambah ketinggian maupun mengurangi ketinggian), saya masih bisa melihat dengan jelas pemandangan di bawah sana. Keindahan pulau bali dan nusa tenggara masih bisa dinikmati dengan jelas. Pesawat terbang jelajah pada ketinggian sekitar 4 kilometer di atas permukaan laut. Tidak sampai separuh ketinggian pesawat jet yang sekitar 10 km dari permukaan laut.
Terbang rendahnya pesawat Foker yang saya naiki justru menjadi kelebihannya. Bukan semata kelebihan karena saya bisa menikmati pemandangan dibawah sana. Yang lebih penting dari itu adalah efisiensinya. Dengan pesawat jet yang dituntut berketinggian jelajah sekitar 10 kilometer, jarak Denpasar Mataram hanya cukup untuk lepas landas, naik pada ketinggian jelajah, dan beberapa menit kemudian harus segera turun lagi untuk mendarat. Jelas sekali bahan bakar tersedot dalam volume besar untuk naik dan turun. Tidak untuk terbang jelajah. Pemborosan. Disinilah peran pesawat berpenggerak baling baling seperti Foker 50 yang saya naiki ketika itu, ATR 72 buatan Prancis yang saat ini dioperasikan oleh Wings Air, atau MA 60 yang saat ini dioperasikan oleh Merpati.
Menyebut 3 jenis pesawat bermesin turboprop alias baling baling ini, saya jadi teringat dengan CN 235 buatan IPTN ketika bekerja sama dengan CASA Spanyol. Kinerja pesawat ini ternyata luar biasa. Hingga saat ini, CN 235 telah diproduksi sebanyak lebih dari 230 unit. Bandingkan dengan Foker 50 yang 213 unit dan tidak mungkin bertambah lagi karena pabriknya sudah bankrut. Bandingkan pula dengan MA 60 Merpati yang buatan RRC yang baru diproduksi 41 unit dimana 15 diantaranya diopersian oleh Merpati dan sudah jatuh kecelakaan di Papua satu unit beberapa waktu lalu. CN 235 jelas lebih unggul. Bahkan hingga kini Turki masih mengopersikan 61 unit CN 235 untuk berbagai keperluan. USA, Perancis, dan puluhan negara hingga kini masih mengopersikan CN 235 baik untuk keperluan angkut militer maupun sipil. Sayang bangsa ini tidak percaya dengan produknya sendiri yang bahkan Amerika dan Perancis pun mempercayainya. Turki apalagi.
Maka, tepat menjelang adzan subuh di Pacitan ini saya membayangkan. Andai saja bangsa ini percaya kepada CN 235, perjalanan Surabaya Pacitan cukup ditempuh dalam waktu tidak sampai setengah jam. Hanya perlu membangun bandar udara kecil di Pacitan. CN235 tidak perlu landas pacu sepanjang lebih dari 3 kilometer seperti juanda. Sepertiganya saja sudah cukup. Inilah kelebihan lain pesawat buatan Pak Habibie ini. Cocok untuk terbang antar berbagai kota di negeri ini yang jaraknya seperti Surabaya Pacitan atau Denpasar Mataram. Semoga…..
tulisan ini dimuat di Majalah BAZ, terbit di Surabaya