Judul buku : Guru Goblok Ketemu Murid Goblok
Penulis : Iman Supriyono
Penerbit : SNF Consulting, Surabaya
( www.snfconsulting.com )
Peresensi : Abd. Sidiq Notonegoro
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 264 Halaman —–
Sangat banyak di negeri ini orang yang sesungguhnya pantas disebut sebagai orang goblok, tetapi tidak pernah mau untuk mengakui kegoblokannya. Apalagi sampai dengan menyadari bahwa dirinya benar-benar goblok. Mengapa demikian? Memang sangat memerahkan telinga –dan pasti ingin melakukan tindakan-tindakan yang benar-benar ”goblok”– apabila ada yang menyematkan identitas pada diri dengan panggilan ”orang goblok”.
Meskipun demikian, di balik sangat banyaknya orang goblok yang emoh disebut sebagai orang goblok, masih ada sebagian kecil orang yang sudi untuk mengakui dan menyadari bahwa dirinya memang goblok. Bahkan mereka tampak enjoy untuk menyebut dan disebut sebagai orang goblok. Mengapa pula demikian? Karena dengan memproklamasikan diri sebagai ”orang goblok”, mereka mampu melapangkan jalan kesempatan yang luas dan panjang untuk selalu belajar dan belajar.
Salah satu manusia langka yang tidak malu untuk mendeklarasikan diri sebagai ”orang goblok” adalah Iman Supriyono (dan gurunya, Abdul Rachim). Dengan kesadarannya yang sangat dalam sebagai orang goblok, akhirnya buku Guru Goblok Ketemu Murid Goblok ini pun lahir. Hebatnya lagi, buku Iman Supriyono yang (merasa) goblok ini merupakan karya buku ke-7. Hebat kan, orang goblok bisa menulis buku, sampai tujuh lagi. Padahal yang selama ini mengaku ”pinter” saja banyak yang tidak mampu menggoreskan satu pun kalimat bermakna, dan selalu marah kalau dipanggil ”goblok”.
Tapi Iman Supriyono dan gurunya bukanlah orang ”goblok” yang sembarang goblok. Mereka adalah jenis manusia ”goblok” khusus. Menurutnya, kegoblokan manusia itu dapat dipilah menjadi tiga tingkatan. Yakni, orang goblok yang masih menyadari bahwa dirinya goblok. Goblok tingkat pertama ini bahkan menurut Iman Supriyono merupakan goblok yang disarankan. Seseorang boleh saja (dan bahkan harus) merasa goblok. Syaratnya, masih menyadari bahwa dirinya goblok dan kemudian mau belajar terus. Bahkan setiap saat kita harus merasa goblok. Maksudnya? Setiap saat merasa ada sesuatu yang kita ingin bisa tetapi belum bisa. Tindak lanjutnya dengan belajar hingga bisa. Begitu bisa, segera temukan apa lagi yang belum bisa. Temukan satu kegoblokan lagi. Demikian seterusnya. Selalu goblok (hlm. 83). Inilah yang disebut sebagai ”goblok dinamis” atau goblok yang beruntung.
Sedangkan tingkatan kedua, orang goblok yang tidak menyadari bahwa dirinya goblok. Orang goblok jenis ini tidak akan pernah berkembang (stagnan). Inilah yang juga bisa disebut dengan ”goblok statis”, karena membiarkan diri untuk tetap goblok dalam satu hal selamanya.
Dan, tingkatan ketiga, orang goblok yang tidak merasa dirinya goblok dan bahkan suka menggoblok-goblokkan orang lain. Inilah jenis manusia yang terjangkiti penyakit goblok total, goblok sempurna, goblok absolut. Orang goblok absolut ini bila dinasehati tentang kegoblokannya, serta merta ia menolak. Bahkan merasa dirinya lebih pintar dari orang yang menasehatinya. Inilah jenis manusia yang merasa pintar padahal goblok. Karena itu, Iman Supriyono mewanti-wanti agar kita tidak termasuk golongan orang yang goblok jenis ini. Bahaya !!! (hlm. 84).
Tetapi, untuk menjadi ”goblok dinamis” pun membutuhkan kecerdasan yang berlipat. Untuk belajar menumbuhkan kesadaran sebagai orang goblok, dibutuhkan seorang guru yang bisa mendidik untuk bisa merasa goblok. Nah, guru jenis ini pun ternyata juga sangat langka. Sebab yang banyak ialah guru yang menuntut muridnya pintar dan cenderung menyisihkan murid yang bergaya goblok. Sang guru kerapkali juga tidak mau dikalahkan oleh muridnya, sehingga dia sendiri pun kemudian menjadi sok pintar dan keminter.
Karena itulah, Iman Supriyono pantas merasa bersyukur karena bisa bertemu dan mendapatkan guru yang sudi mendidiknya untuk bisa merasa goblok. Lebih dari itu, Pak Rohim –yang diklaimnya sebagai guru (dalam buku ini)– rela untuk menggoblokkan dirinya yang tidak pernah bosan untuk mendidik dan bahkan memberi kepercayaan terhadap murid-muridnya yang goblok.
Dengan tempaan guru gobloknya, akhirnya Iman Supriyono yang saat ini merupakan konsultan senior di SNF Consulting tidak pernah berhenti untuk terus merasa goblok. Salah satu bukti kesadaran akan kegoblokan dirinya ialah tentang mimpinya untuk bisa membuat kantor konsultan yang bisa dipercaya perusahaan-perusahaan kelas dunia. Akan tetapi hingga saat ini belum tercapai. Belum bisa. Goblok. Dan, karena itu, ia tidak akan pernah berhenti untuk mengentaskan diri dari ambisi goblok tersebut hingga mimpinya jadi kenyataan.
Memperhatikan semangat Iman Supriyono yang meledak-ledak untuk membakar jiwa entrepreneur dan investor ini, maka kehadiran buku perlu menjadi pegangan wajib bagi mereka yang ingin melepaskan diri dari kegoblokan statis dan bahkan kegoblokan absolut. Bahkan tidak hanya bagi mereka yang sedang ingin mengembangkan usaha bisnis jasa saja, tetapi juga para pendidik (guru dan dosen) yang selalu merasa sok lebih pandai dari murid atau mahasiswanya. Teladan Pak Rohim –yang selalu merasa sebagai guru goblok– perlu diwarisi para pemegang kunci gerbang dunia akademis.
Ada banyak kelebihan dari buku ini. Bahasa yang digunakan sangat mengalir dan enak untuk dibaca –saya seperti sedang membaca sebuah novel. Selain itu, sentilan-sentilan pedas tidak justru membuat kita marah dan menutup buku. Tapi sebaliknya, justru kian bernafsu untuk menuntaskannya. Tidak ada kata lain untuk memuaskan rasa penasaran di balik judul buku yang terkesan ”melecehkan” itu, kecuali membaca isinya. Karena hanya orang-orang goblok absolut saja yang pasti enggan untuk menikmati buku ini. (*)
Abd. Sidiq Notonegoro, pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik