Oleh Iman Supriyono, Konsultan Manajemen pada SNF Consulting
Saat tulisan ini dibuat, api yang meluluhlantakkan Pasar Turi, pusat grosir terbesar di Indonesia Timur, belum benar-benar padam. Kebakaran ini dalam waktu serentak menghancurkan mata pencaharian sekitar 15 ribu orang. Para pedagang maupun pegawainya kehilangan lahan mencari nafkah.
Kebakaran Pasar Turi juga memacetkan bisnis para perajin sepatu di Wedoro, tas di Tanggulanging, bordir di Bangil dan sentra-sentra kerajinan di sekitar Surabaya lainnya. Macet karena Pasar Turi adalah pusat penjualan produk mereka. Macet karena pasar terbesar di Indonesia Timur ini juga merupakan pusat kulakan bahan baku para perajin itu. Tidak ada lagi bahan baku yang bisa dibeli di pasar yang berlokasi tidak jauh dari gedung wakil rakyat Jawa Timur ini.
Sebagaimana layaknya sebuah musibah. Tidak ada seorangpun yang meghendaki atau merencanakan terjadinya musibah. Muncullah ungkapan-ungkapan yang mencerminkan betapa beratnya penderitaan para korban. Muncul pula ketidakpuasan terhadap penanganan maupun pencegahan musibah yang seolah sudah menjadi rutinitas ini.
Ada yang menarik diantara keluhan para pedagang yang toko dan dagangannya menjadi korban kobaran api. Mereka mengeluh, mengapa kebakaran ini harus terjadi menjelang ramadhan dan Idul Fitri, bulan yang semestinya mereka akan panen rejeki? Mengapa kebakaran terjadi pada saat mereka telah menyiapkan stok barang dagangan berlimpah untuk menyambut momen gegap gempitanya masyarakat menyerbu pusat-pusat perbelanjaan?
Yaa…ramadhan selama ini memiliki makna tersendiri bagi para pedagang Pasar Turi dan pusat perbelanjaan lain. Ramadhan adalah saat dimana para pedagang menikmati rezeki melimpah. Ramadhan adalah saat panen bagi para pedagang. Omset pakaian, perlengkapan rumah tangga, alat elektronika, bahan makan, dan nyaris semua barang dagangan melonjak pada hari ketika umat Islam menjalankan ibadah ramadhan.
Inilah yang membuat kita harus merenungkan ulang makna bulan yang mestinya penuh hikmah ini. Bagaimana misalnya kita memahami kenaikan omset bahan makan sementara ummat Islam yang dianut oleh mayoritas ini sedang berpuasa. Bukankah orang yang berpuasa hanya makan dua kali dalam sehari. Buka puasa dan makan sahur mestinya menggantikan makan pagi, makan siang dan makan malam? Bukankah makan dua kali mestinya lebih sedikit kebutuhan bahan makanannya dari pada makan tiga kali sehari?
Melonjaknya omset bahan makanan hanya bisa terjadi kalau umat Islam berpuasa model “balas dendam”. Karena dari subuh sampai magrib tidak makan minum, begitu adzan dikumandangkan, langsung saja mereka “balas dendam” dengan makan sepuas-puasnya. Bila pada saat normal makan malam cukup sepiring nasi, saat buka puasa justru dengan puas melahap semangkuk kolak pisang, sebiji pisang goreng, sepotong semangka, sebiji tahu isi, dan diakhiri dengan porsi besar nasi. Itupun dengan lauk pauk yang sudah diduakali lipatkan.
Kalau puasa dikerjakan dengan cara begini, wajar sekali bila omset pedagang makanan apapun naik luar biasa. Bukan hanya itu, jumlah dana yang dibelanjakan untuk aneka kebutuhan pun naik luar biasa pada bulan puasa. Berbagai jenis makanan dibeli untuk memuaskan anggota keluarga saat buka puasa tiba.
Bagaimana dengan Anda dan keluarga? Saya berharap Anda tidak melakukan apa yang saya gambarkan di atas. Puasa yang seolah hanya memindah jadual makan. Semula makan siang hari lalu diubah menjadi makan di malam hari. Bahkan dengan tingkat konsumsi yang jauh lebih tinggi dari pada dalam kondisi normal.
Selanjutnya, coba sekarang kita membuat rencana yang lebih konkrit. Apa yang akan kita lakukan pada bulan yang mestinya menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang semakin bertakwa ini. Harus ada peningkatan secara konkrit. Harus ada perubahan positif yang terasa. Ramadhan kita akhiri dengan tingkat ketakwaan yang jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Makin rajin beribadah, makin khusuk, makin rajin bershodaqoh, makin baik kepada orang lain, makin bermanfaat bagi sesama.
Selanjutnya, ketakwaan ini kita manifestasikan sampai pada level finansial. Sebagaimana halnya dengan ketakwaan itu sendiri, secara finansialpun harus ada peningkatan secara konkrit. Harus ada perbedaan yang konkrit antara kualitas finansial sebagai manifestasi peningkatan ketakwaan yang konkrit antara sebelum dan sesudah menjalankan ibadah ramadhan.
Kembali kepada cerita tentang peningkatan omset penjualan para pedagang pada bulan ramadhan. Peningkatan omset tentu saja adalah akibat dari kenaikan anggaran belanja masyarakat. Suatu cermin akan adanya “balas dendam” dalam berpuasa. Menahan makan pada siang hari dan menggenjot makan pada malam hari. Lebih banyak mengkonsumsi makanan selama bulan ramadhan dibanding bulan-bulan lain.
Bagaimana rencana Anda bulan ramadhan tahun ini? Kalau Anda ingin agar ketakwaan yang dicita-citakan oleh setiap shoimun ini termanifestasikan secara finansial, ukurannya gampang. Anggaran belanja rutin bulanan Anda selama bulan ramadhan seharusnya menurun, bukan justru naik, dibandingkan dengan bulan bulan sebelumnya. Atau mungkin masih bisa ditolerir seandainya anggarannya tidak naik juga tidak turun. Konstan.
Lalu apa pengaruh manifestasi ketakwaan secara finansial ini? Pada umumnya, perusahaan atau kantor tempat seseorang bekerja akan memberikan tunjangan hari raya. Nah, bila seseorang bisa menjaga ritme pembelanjaannya tanpa terjebak pada budaya “balas dendam”, uang THR ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih strategis, lebih bermanfaat dan lebih berjangka panjang.
Lho, bagaimana dengan kebutuhan mudik yang tentu saja menghabiskan dana yang besar? Mestinya, kalau mudik sudah menjadi agenda rutin tahunan, anggarannya juga harus dipersiapkan secara tahunan pula. Biaya mudik harus ditanggung oleh pendapatan Anda selama satu tahun. Kalau Anda termasuk orang yang berpendapatan tetap, karyawan perusahaan atau pegawai negeri misalnya, tiap bulan Anda sudah memperhitungkan bahwa ada anggaran yang telah dipersiapkan untuk pulang mudik. Apalagi kalau Anda tinggal jauh dari kampung halaman sehingga harus naik pesawat sekeluarga dengan harga tiket peak season yang tentu juga sangat mahal.
Bagaimana dengan kebutuhan untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh yang biasanya juga dibayar pada bulan Ramadhan? Mestinya, karena ini adalah kebutuhan yang sudah terprogram jauh hari secara tahunan juga. Jadi ini bukan beban anggaran ramadhan walaupun pembayarannya dilakukan pada bulan ramadhan. Tidak ada penumpulan beban pada bulan suci ini.
Nah, ketika Anda sudah bisa mengendalikan anggaran ramadhan tanpa budaya “balas dendam”, tentu akan ada uang yang tersisa pada akhir bulan puasa. Lalu dikemanakan uang ini? Secara tersirat pertanyaan ini sudah kita bahas pada edisi-edisi berikutnya. Intinya, tidak ada perbaikan ekonomi suatu keluarga, perusahaan, atau negeri kecuali adanya investasi. Manfaatkan dana ini untuk menggenjot investasi. Agar harta Anda lebih bermakna bagi orang lain dalam jangka panjang tanpa batas. Bahkan melebihi rentang usia Anda yang tentu ada batasnya. Jadi, jadikan Ramadhan tahun ini sebagai momen finansial juga. Bagaimana?
Iman Supriyono ( imansupri@snfconsulting.com )
Managing partner SNF Consulting