“Malang benar nasibku. Tiga dari empat almamaterku telah tiada. Dulu aku sekolah di SMP Negeri 1 Caruban. Kini tidak ada lagi nama sekolah itu. Kemudian saya melanjutkan belajar di SMA Negeri 1 Caruban. Kini, nama sekolah itu pun telah menghilang. Lalu saya melanjutkan pendidikan tinggi di IKIP Surbaya. Dan malang sekali, kini nama itu juga telah dihapus dari daftar perguruan tinggi milik pemerintah”
Itulah celoteh seorang adik saya saat kumpul-kumpul lima bersaudara. Memang betul. Tiga nama lembaga pendidikan tersebut telah hilang. Bukan karena bubar. Tetapi karena namanya telah diganti. SMP Negeri 1 CAruban, almamater saya juga, telah diubah namanya menjadi SMP Negeri 1 Mejayan. SMA Negeri 1 Caruban, tempat saya belajar juga, telah diganti namanya menjadi SMA Negeri 1 Mejayan. Dan terakhir, IKIP Surabaya, almamater kakak sulung saya juga, telah diganti menjadi UNESA alias Universitas Negeri Surabaya. Telah melakukan rebranding.
Adalah Ivan Petrovich Pavlov. Psikolog kelahiran Kerajaan Rusia tahun 1849 ini dikenal sebagai pencetus konsep classical conditioning. Sebuah teori yang penting sekali dalam dunia marketing. Sejak dicetuskannya. Sampai sekarang.
Pavlov meneliti anjing. Sekelompok anjing dipasangi alat pengukur kondisi air liur di mulutnya. Setelah itu kepada anjing-anjing tersebut diberikan makanan tertentu. Setiap memberi makanan, diperdengarkan juga suara bel tertentu. Sambil diberi makanan, dicatat pula alat ukur air liur di mulutnya. Pemberian makanan bersamaan dengan bel tersebut diluang-ulang terus. Sambil terus dicatat kondisi air liurnya.
Setelah pemberian makanan bersamaan dengan suara bel dilakukan, selanjutnya Pavlov hanya membunyikan bel. Tanpa memberikan makanan. Sambil tetap diamati air liurnya. Dan kesimpulannya, kondisi air liur saat dibunyikan bel tanpa makanan sama dengan saat dibunyikan bel dengan makanan.
Penelitian Pavlov sangat relevan di era marketing modern. Era di mana konsumen mejadi sanggat percaya kepada merek alias brand. Produk bermerek perlahan tapi pasti menggeser yang tidak bermerek. Para ibu yang dulu memasak dengan santan tanpa merek kini tergantung pada Kara. Ibu saya yang dulu minum kopi tanpa merek kini minum Torabika. Tetangga desa saya yang dulu merokok tanpa merek kini menikmati Gudang Garam. Dan masih banyak lagi.
Santan kelapa analog dengan makanan anjing pada penelitian Pavlov. Kara analog dengan suara bel. Santan dan Kara adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada hubungan. Seperti juga makanan anjing dengan bel yang juga tidak ada hubungan. Tetapi karena terus menerus-dipasangkan terjadilah proses pengondisian. Anjing pun mengasosiasikan bahwa bel itu identik dengan makanan. Para ibu pun mengalami pengondisian. Santan kelapa itu identik dengan Kara.
Ada dua hal penting dalam konsep karya penerima hadiah Nobel tersebut. Pertama adalah produk yang standar. Tidak berubah dalam karakteristiknya dengan pengulangan yang panjang. Kedua adalah merek yang tetap. Tidak berubah karakternya dalam pengulangan yang panjang juga. Makin banyak diulang makin kuat. Makin panjang waktu pengulangannya akan makin kuatlah posisi merek di benak konsumen.
Memperhatikan pentingnya frekuensi dan waktu pengulangan dalam penguatan merek, rebranding adalah sebuah kerugian. Begitu rebranding dilakukan, semua proses conditioning yang telah dilakukan bertahun-tahun terputus. Berganti menjadi merek baru. Apa yang dirasakan adik tentang kehilangan nama almamater itu juga saya rasakan. Benak saya tetap mengatakan bahwa saya adalah alumni SMA Negeri 1 CAruban. Bukan alumni SMA 1 Mejayan.
Maka, jangan sembarangan melakukan rebranding. Jika memang benar-benar dibutuhkan, pastikan bahwa manfaat dari rebranding itu jauh lebih besar dari pada kerugian proses classical conditioning yang telah dilakukan puluhan tahun. Ingat bahwa brand adalah bagian penting dari Revenue and Prifit Driver alias RPD dan intangible asset perusahaan. Pastikan juga nama barunya belum pernah dipakai pihak lain. Hormati mereka yang sudah memakainya terlebih dulu. Hindari konflik yang memaksa rebranding ulang.